JUN
08

Memotret PPP Ke Depan

29 April 2008


Oleh : Eko Mahendra*

Perjalanan Indonesia sebagai bangsa dan negara telah melalui titian yang cukup panjang, terjal, dan berliku. Sejak awal, berbagai komponen dan eksponen telah turut andil dalam menyumbangkan kontribusinya demi masa depan Indonesia melalui ragam gagasan dan aksinya. Di antara komponen penting itu adalah parta-partai politik di Indonesia. Sejarah mencatat, partai politik di Indonesia telah menyatu dengan sejarah pergerakan Indonesia itu sendiri. Pergerakan Indonesia membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara merdeka. Dan sejak mula, partai-partai politik telah menjadi wahananya.

Salah satu partai politik yang cukup “berumur” pada kancah kehidupan politik di Indonesia adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlambang Ka’bah yang pada saat orde baru sempat menggunakan lambang Bintang ini telah menyertai perkembangan bangsa dengan berbagai dinamikanya. Sebagaimana Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari partai-partai nasionalis, partai ini juga partai fusi dari partai-partai (NU, Parmusi, Perti, PSII) yang diyakini merupakan representasi dari kelompok-kelompok Islam. Ini berlangsung ketika Soeharto berkuasa melalui sistem dua partai dan Golongan Karya.

Namun kenyataan menjadi lain ketika Soeharto lengser pada 1998. Peta baru partai politik benar-benar menjadi berubah pada pemilu pertama pasca reformasi yaitu Pemilu 1999. Sebagaimana PDI yang kemudian menjadi PDI-Perjuangan, PPP kemudian melakukan langkah-langkah strategis untuk tetap mempertahankan organisasi partai yang solid dan tentu saja reformis. Karena saat itu, semua partai—bahkan Golkar—juga menempuh langkah-langkah itu. Saat itu, ketika kran kebebasan mendirikan partai dibuka, muncul beberapa partai yang memiliki ragam latar; agama, nasionalis, nasionalis-religius, hingga profesi. Hal ini berimplikasi kuat pada eksistensi PPP.

Sejak itulah PPP mengambil sikap. Mulai dari mengganti kembali lambang partai, mengakomodasi ormas-ormas Islam, hingga menggunakan Syariat Islam sebagai asas partai. Tentu saja putusan sikap ini bukan tanpa konsekuensi. Ketika PPP memosisikan dirinya sebagai partai berbasis Islam, sementara dalam realitas terdapat keragaman persepsi tentang bagaimana artikulasi syariat Islam dalam ketatanegaraan, PPP bukan hanya berhadapan dengan partai-partai nasionalis tapi juga partai-partai nasionalis-religius yang lain.

Namun yang menarik, belakangan ini isu mengenai konsepsi syariat Islam seperti agak mengendur. Alasan yang paling mungkin adalah karena konsentrasi bangsa benar-benar terjuju pada upaya-upaya pembenahan aspek moralitas bangsa. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa partai-partai yang konon menggunakan Islam sebagai basisnya, juga tak kalah “nakal” dengan partai-partai yang lain. Sesuatu yang jelas sangat ironis. Ditambah lagi dengan kecenderungan masyarakat yang terlihat lebih menghendaki internalisasi nilai-nilai Islam ketimbang formalisasi Islam. Maka ke depan, agaknya partai yang dicari rakyat adalah partai yang tak perlu banyak omong, tetapi yang jelas aksinya. Ini tak cukup hanya terakomodasi dalam visi atau misi suatu partai politik. Dan inilah tantangan berat yang akan dihadapi oleh semua partai politik tak terkecuali PPP, yang pada 5 Januari ini genap berusia 34 tahun.

Potret dan Tantangan PPP
Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai politik Indonesia tercatat tak pernah absen mengikuti pemilu sejak ia difusikan. Pemilu merupakan ajang kompetisi bebas, berkelanjutan, dengan derajat kometensi yang tinggi karena banyak partai politik yang terlibat di dalamnya. Konsekuensinya adalah terbukanya peluang bagi terjadinya kekuasaan. Bila salah satu partai memenangkan pemilu, ia berhak menentukan dalam pembentukan komponen pemerintahan.

Dari sini satu pertanyaan muncul. Mengingat ke depan pemilu kian kompetitif dan transparan, masihkah PPP dengan segala kondisinya mampu turut berlaga pada pemilu-pemilu mendatang? Ini bukan pertanyaan bernada pesimistik. Tapi satu pertanyaan kritik. Karena PPP tak cukup hanya mengandalkan model patronase, isu-isu keagamaan yang kini mulai cenderung ditinggalkan masyarakat. Bila diperhatikan dari kondisi internal dan eksternal partai, ke depan PPP memiliki sejumlah tantangan. Secara sederhana tantangan itu dapat kerucutkan ke dalam dalam empat hal.

Pertama , orientasi dalam pemilu. Memang tak bisa dipungkiri bahwa pemilu merupakan bagian penting dalam pembangunan politik. Maka partai sebagai pihak peserta pemilu tentu tak mungkin bila tidak memasukan pemilu dalam salah satu program utamanya. Maka pemilu dan partai tak bisa dipisahkan begitu saja. Namun akan menjadi naif bila program utama partai hanyalah upaya memenangankan pemilu belaka. Ini bukan hanya memperlihatkan ambisi berkuasa, tetapi juga sangat berpeluang menimbulkan ekses-ekses lain yang terkadang cenderung tidak etis.

Satu hal yang cukup prioritas bagi PPP ke depan adalah bagaimana menciptakan organisasi partai yang dibangun secara profesional dengan tetap mengacu pada landasan ideal atau garus kebijakan partai. PPP sudah saatnya menanggalkan ambisi “menang” dalam pemilu. Orientasi pemilu PPP perlu disegarkan dengan memprioritaskan kondisi internal partai. Logikanya sangat sederhana; bagaimana mungkin akan mampu berkuasa dalam skala besar (baca: negara) bila secara internal organisasi masih banyak hal yang belum mendapat perhatian yang optimal. Langkah ini tak lalu meremehkan dan mencampakkan pemilu. Tapi justru dengan pembenahan internal, dengan sendirinya pemilu akan turut dalam agenda utamanya.

Kedua , mencari format kepemimpinan yang akomodatif. Bahwa selama ini fakta menyebutkan kecenderungan partai-partai politik di tanah air selalu dihadapkan pada masalah figur atau tokoh yang menjadi simbol di dalamnya. Tak jarang masyarakat akhirnya memilih satu partai tertentu karena ada “seseorang” yang duduk di dalamnya. Bahkan kecendeungan ini kian absurd ketika figuritas telah melampaui batas-batas logika. Tak jarang beberapa partai akhirnya memasang sosok publik figur seperti selebritis, demi mendongkrak simpati masyarakat. Meskipun selebritis juga warga negara yang berhak terlibat aktif dalam politik, namun masalahnya adalah apakah ia capable atau tidak? Masalahnya bukan siapa yang tampil, tapi mampukah ia tampil?

Sesungguhnya ini tak hanya dialami oleh PPP tapi juga partai-partai politik lain yang menjadikan ulama, tokoh masyarakat, atau ormas-ormas sebagai basisnya. Dalam PPP bila yang meyakini bahwa partai hanya layak dipimpin oleh kalangan sepuh, atau sosok yang memiliki garis nasab pada tokoh sepuh lainnya akan berpeluang melahirkan konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensinya adalah PPP tak akan pernah menjadi besar dan dewasa. PPP akan senantiasa dibayang-bayangi ketakutan dan gamang untuk melangkah, dan menentukan sikap. Maka ke depan, sudah saatnya figur-figur sepuh PPP mempercayakan tongkat estafetnya kepada generasi muda yang lebih progresif, terbuka namun tetap mengakar pada garis idealisme partai.

Ketiga , Kaderisasi yang cerdas. Konsekuensi logis dari langkah kedua di muka maka kaderisasi menjadi keniscayaan. Kaderisasi perlu dilakukan secara sistemik, simultan, dan bertanggungjawab serta dengan tetap menjaga garis historisitas partai. Hal yang terakhir ini penting agar tidak terjadi missing link antara generasi sepuh dan generasi penerusnya. Bukankah dalam lari estafet, tongkat estafet tidak diperbolehkan untuk dilempar kepada pelari berkutnya? Tongkat itu harus dihantarkan hingga benar-benar digenggam oleh pelari berikutnya. Bila tidak, akibatnya bukan hanya kemungkinan jatuhnya tongkat tapi bahkan diskualifikasi. Inilah missing link.

Kaderisasi yang cerdas menurut penulis adalah kaderisasi yang tetap memiliki akar historis. Yang dimaksud dengan akar historis adalah bagaimana sistem kaderisasi memungkinkan para kader dapat secara mudah memiliki akses untuk berkomunikasi dengan kalangan sepuh di samping membuka dialog secara terbuka dengan arus-arus lain. Apalagi bila kita melihat kenyataan di lapangan yang memperlihatkan kecenderungan masyarakat yang kian cerdas untuk menentukan pilihannya.

Perlu kiranya diberikan kesadaran kepada kader bahwa kekuasaan adalah bukan sesuatu yang prioritas. Tapi bagaimana mengayom dan kesiapan menjadi pelayan masyarakatlah yang perlu ditonjolkan. Bukankah partai adalah wahana aspirasi rakyat. Ke depan, dibutuhkan kader-kader yang pandai mendengar aspirasi dan keluhan rakyatnya, bukan kader yang hanya berambisi pada orientasi kekuasaan belaka. Sudah saatnya dibuang jauh-jauh slogan, “Kalau mau kaya, ikut partai”. Adapaun slogan yang mungkin tepat adalah, “Jangan menjadi kader partai kalau ingin kaya”. Penulis kira, sudah saatnya PPP mengedepankan nilai-nilai asketik (zuhd) kepada para kadernya. Apalagi kondisi rakyat kita yang masih jauh mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Kesederhanaan dan kebersahajaan ini harus menjadi proyek utama dalam kaderisasi dan dimulai dari para pemimpinnya.

Keempat , pendamping umat. Ketika kaderisasi pada poin ketiga dilakukan maka PPP akan diharapkan mampu menempatkan dirinya sebagai partai yang dapat menjadi pendamping rakyat. Ketika PPP tak hanya berorientasi pada pemenangan pemilu, tak hanya memiliki ambisi kekuasaan, maka kompensasinya adalah memperhatikan dan memperjuangkan kondisi rakyat.

Pada konteks ini banyak hal yang dapat dilakukan. Mulai dari bagaimana memperhatikan aspek pendidikan rakyat, ekonomi rakyat, kesejahteraan rakyat, hingga hak-hak rakyat. PPP sudah saatnya menginventarisasi problem-problem yang tengah melanda rakyat kita.

Setelah memperhatikan hal di atas, mungkin muncul pertanyaan bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan tanpa memiliki kekuasaan? Penulis meyakini, kekuasaan tak melulu pada kekuasaan struktural. Rasanya akan menjadi sia-sia bila kekuatan struktural tampil tanpa memiliki dukungan dari kekuatan kultural. Kalau pun bisa kekuasaan itu akan bergerak secara diktator. Untuk mencapai arah itu, PPP perlu memperkuat basis kulturalnya secara bijak dan terbuka. Untuk menjadi pendamping rakyat, tak perlu duduk menunggu. Tetapi harus turun dan menyambangi rakyat secara langsung. Ke depan, PPP harus memiliki kesadaran bahwa untuk membantu rakyat tak perlu harus menunggu berkuasa. Menjadi pendamping rakyat mesti dilakukan sekarang juga dan kapan saja, tak peduli dari manapun latar belakang mereka. Semoga. (Radar Tegal, 5 Januari 2007)

*Penulis adalah kader PPP Kab. Tegal
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Labels:
0
COMMENTS
Design a Mobile Site
View Site in Mobile | Classic
Share by: