JUN
08

Menyoal Golput di Pilkada

24 Juni 2008

Oleh : Eko Mahendra*

HANTU GOLPUT kembali gentayangan. Kali ini hantu Golput—akronim dari golongan putih itu—seringkali membayangi Pilkada di daerah-daerah. Di Kabupaten Tegal sendiri, meskipun jarang muncul issue demikian, tapi wacana Golput harus mendapat perhatian serius. Jika dihitung rata-rata, tingkat golput selama pelaksanaan Pilkada sampai saat ini mencapai angka 27,9% (sumber; LSI 2007). Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan golput pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2004 tahun lalu. Meskipun tingginya angka Golput menjadi wacana umum dalam Pilkada di banyak wilayah—dan diprediksikan fenomena Golput ini juga akan menemui klimaksnya pada Pemilu 2009—hingga saat ini belum ada penjelasan yang komprehensif tentang latar penyebab seorang pemilih memilih Golput.

Istilah “Golput” memang sudah cukup akrab dalam dunia politik. Golongan putih dalam istilah asing dikenal dengan sebutan abstain, yang dalam Oxford English Dictionary, dartikan dengan: not using vote at an election (tidak menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan). Di Indonesia, istilah ini disinyalir muncul pertama kali pada 1970-an. Ketika itu Golput mulai disuarakan oleh sejumlah aktivis muda, di antaranya Arief Budiman. Golput sendiri diyakini bagian dari gerakan moral sebagai bentuk protes terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengerdilkan partai politik. Ketentuan UU tersebut untuk memangkas munculnya partai politik baru dinilai berlawanan arah dengan semangat demokrasi. Ketentuan tersebut juga memaksa pemilih agar memilih Partai Golkar. Pemilu hanyalah rekayasa untuk mengukuhkan kemenangan Partai Golkar. Bentuk perlawanan terhadap UU tersebut tidak dilakukan dengan demonstrasi menentang pemerintah, tetapi dilakukan dengan golput.

Saat itu para aktivis menyerukan kepada pemilih agar melawan secara “aman” dengan jalan tidak ikut dalam pemilihan. Golput adalah upaya yang dilakukan oleh rakyat untuk melawan kesewenangan pemerintah Orde Baru. Rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk berhadapan langsung dengan pemerintah yang kala itu didukung militer. Rakyat hanya mampu melawan secara “diam-diam”. Caranya, mulai dari tidak datang di hari pemilihan, mencoblos di bagian putih kertas suara, menusuk semua tanda gambar partai politik, atau mencoblos di manapun di kertas suara yang menyebabkan kertas suara menjadi rusak. Setiap kali menjelang pemilihan umum, pembicaraan mengenai golput selalu muncul. Dari latar sejarah tersebut, terlihat Golput punya konotasi politik yang kuat. Pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya selalu dilihat sebagai bentuk protes terhadap pemerintah atau sikap melawan terhadap pelaksanaan pemilihan umum.

Kini, zaman telah berubah, kran demokrasi dibuka seluas-luasnya. Rakyat diberi keleluasaan untuk berserikat dan berkumpul dengan kebebasan mendirikan partai politik. Rakyat diberi banyak pilihan untuk memilih sesuai hati nurani dan kehendaknya, termasuk diperbolehkannya calon independen ikut berkompetisi dalam pilkada. Era yang kemudian disebut masa euphoria politik ini melahirkan ratusan partai politik baru, tentu dengan beragam ciri dan ideologinya. Pertanyaannya kemudian, masih relevankah wacana Golput ditengah dinamika demokrasi yang semakin dinamis dan terbuka bagi banyaknya pilihan-pilihan politik rakyat?

Mengapa Golput?
Secara teoritis, ada dua penjelasan mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama adalah tentang perilaku politik pemilih. Penjelasan perilaku politik pemilih ini menurut J. Kristiadi dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, perspektif sosiologis. Seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan disebabkan sebagai akibat dari kondisi sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras, dan sebagainya. Di Indonesia, kecenderungan yang terjadi adalah seseorang tidak memilih karena kesibukan pekerjaan, dan di sisi lain seseorang yang berpendidikan tinggi menganggap banyaknya pemilu hanya menghambur-hamburkan uang negara.

Kedua, perspektif psikologis. Dalam perspektif ini, voting ditentukan oleh tiga aspek, yaitu ketertarikan seseorang kepada partai politik tertentu, orientasi seseorang kepada calon presiden, gubernur, bupati/walikota atau calon anggota parlemen, serta orientasi seseorang terhadap issue-issue politik. Dan ketiga, perspektif ekonomis. Dalam perspektif ini yang menjadi penekanan adalah keuntungan apa yang didapat jika menggunakan hak pilihnya. Keuntungan disini tentu tidak terbatas keuntungan finansial sesaat, seperti fenomena terakhir ini. Tapi jauh dari itu adalah apakah pemilihan dapat menghasilkan perubahan yang lebih baik atau tidak.

Selain penjelasan tentang perilaku politik pemilih di atas, fenomena golput juga bisa dibaca dari struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelasan yang umum dipakai oleh para pengamat. Pertama, sistem pendaftaran pemilih. Dalam hal ini, kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur berpotensi mengurangi minat seseorang untuk memilih.

Kedua, sistem kepartaian dan pemilihan umum suatu negara. Sejumlah penelitian menunjukkan, negara yang menganut sistem multi partai relatif bisa memancing partisipasi pemilih yang lebih tinggi. Sementara itu, sistem proporsional dalam pemilihan umum lebih membuat partisipasi pemilih lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan sistem distrik. Keterwakilan proporsional pada umumnya dipercaya dapat meningkatkan kehadiran pemilih karena semua partai berpeluang meningkatkan keterwakilan mereka di parlemen. Dan ketiga, sifat pemilihan. Ada negara yang menganut paham bahwa pemilihan umum hanya sebatas hak warga negara. Oleh karenanya, setiap warga negara yang memenuhi syarat tidak diwajibkan untuk memilih dalam pemilihan. Artinya, golput juga diperbolehkan. Sementara lain, ada juga negara yang menganut paham pemilihan umum adalah kewajiban dari warga negara. Setiap warga negara yang memenuhi syarat diwajibkan ikut dalam pemilihan, jika tidak maka akan mendapatkan hukuman. Contoh negara yang mewajibkan warganya ikut pemilihan adalah Australia, Swiss, Peru, Argentina, dan Ciprus.

Mencermati kerangka teoritis diatas dan dihubungkan dengan kondisi politik Indonesia saat ini, penulis memandang perlu upaya bersama antara pemerintah, penyelenggara pemilihan (KPU) dan pelaku-pelaku politik untuk mencermati 3 (tiga) langkah penting demi menekan tingginya potensi angka golput. Pertama, KPU(D) harus melakukan prosedur administrasi yang tepat. Misalnya bagaimana KPU(D) harus bisa memastikan seseorang terdaftar dalam daftar pemilih, apa benar yang bersangkutan ditetapkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian apakah yang bersangkutan sudah menerima kartu undangan pada hari pemilihan.

Kedua, KPU(D) harus menetapkan jadwal hari pemilihan pada hari libur atau hari yang diliburkan. Ini sangat penting karena pemungutan suara yang dilakukan pada saat hari kerja sangat berpotensi melahirkan tingginya angka golput. Di samping itu, upaya pemerintah yang terus mensuport KPU(D) dalam tahapan sosialisasi, sangat membantu masyarakat dalam memahami pentingnya memilih pada hari pemungutan suara. Sosialisasi ini akan lebih efektif melalui TV, radio, surat kabar, spanduk, dan di perkumpulan-perkumpulan warga.

Ketiga, pelaku-pelaku politik yang berkepentingan dalam pemilihan adalah figur yang cakap, bersih, jujur, terpercaya, akuntabel, tauladan, aspiratif, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap perbaikan segala bidang. Di banyak survey menyebutkan, sebagian pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah karena alasan-alasan politis. Pemilih menganggap Pilpres, Pilkada, dan Pemilu Legislatif tak ada gunanya, tak banyak yang diharapkan, dan tak ada figur yang sesuai dengan pilihan calon pemilih. Merenungkan ini, semoga semuanya saja segera bergegas mempersiapkan Pemilu kedepan menuju Pemilu yang berkualitas.

Golput dalam Lintas Sejarah Islam
Dalam Tarikhul Khulafa; Imam as Suyuthi menyebutkan bahwa kaum Khawarij pengikut Ali bin Abi Thalib pernah memisahkan diri dan tidak mau bertahkim padanya, sekaligus tidak juga mengikuti kelompok Mu’awiyah. Mereka menyusun kelompok sendiri dengan tidak menentukan pilihan. Kemudian ketika terjadi pertikaian Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah dan Zubeir yang mendapat dukungan Aisyah RA. Pada peristiwa ini juga muncul satu kelompok yang tidak ikut dalam pertempuran, kelompok ini dipimpin oleh Abdullah bin Umar.

Kedua sikap yang diambil sahabat-sahabat di atas merupakan tindakan tidak memilih satu di antara dua pilihan yang kemudian melahirkan “sikap baru” yang diyakini membawa arah lebih baik. Belakangan, sikap yang demikian itu dikenal sebagai wujud perlawanan atau protes. Dan sikap ini, dapat kita cermati sebagai langkah yang “terpaksa” di ambil di saat-saat ragu untuk memilih sebuah pilihan.

Dalam sejarah politik nasional, sikap tidak memilih sering dilakukan oleh partai-partai Islam. Simak saja bagaimana ketatnya pertarungan sewaktu pemilihan presiden pada tahun 2004, di mana kemudian beberapa partai Islam menggelar konprensi pers seputar sikap mereka untuk tidak memilih pada putaran kedua pilpres tersebut. Kita juga pernah melihat bagaimana sikap PPP walk out dalam sidang paripurna pada tahun 1984 dalam pengesahan azas Tunggal. Kemudian pada pemilu Juni 1992, ditenggarai bahwa sekitar 5 persen dari jumlah pemilih ketika itu tidak menggunakan hak pilihnya, dan kebanyakan dari mereka adalah pemuda. Keumuman tuntunan terhadap setiap fenomena politik yang dijalani umat Islam sepanjang masa merupakan kenyataan dan keharusan dalam ajaran agama.

Timbulnya sikap tidak memilih, abstain, golput, atau apa pun istilahnya dalam realitas politik termasuk fenomena Pilkada, merupakan hal yang wajar. Tapi problem selanjutnya adalah apakah sikap golput juga akan menjanjikan perubahan lebih baik? Inilah pertanyaan yang mesti dikaji.

Memilih pemimpin melalui Pilkada dalam perspektif Islam berhubungan erat dengan maqashidusyari’ah (oreintasi jalan) yang tidak boleh diabaikan. Model dan sistem pemilihan yang ada sekarang ini merupakan hajiyat sekaligus tahsiniyat. Dikatakan Hajiyat karena merupakan sudah menjadi keharusan yang tak bisa dianulir bagi kita untuk memilih pemimpin secara langsung. Kemudian dikatakan tahsiniyat, karena Pilkada dilakukan melalui peraturan yang sudah disusun secara konstitusional. Maka dalam situasi yang demikian mengambil sikap golput tentu akan merugikan diri kita sendiri. Dengan golput, kita tidak punya kesempatan untuk dapat memberikan kontribusi sikap politis. Dalam khasanah Islam, kita tidak punya kesempatan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar secara sistemik dan terarah. Kini, setelah 22 Juni 2008 nanti kita memilih calon pemimpin Jawa Tengah, kita tunggu saja siapa calon pemimpin Kabupaten Tegal mendatang?*** (Wacana Nirmala Post, 23 Juni 2008)

*Penulis adalah kader PPP Kabupaten Tegal
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Labels:
0
COMMENTS
Design a Mobile Site
View Site in Mobile | Classic
Share by: