Arsitektur hari ini and future
FEB
20

Peran atap dalam arsitektur : SEBAGAI SIMBOL MARTABAT BANGUNAN

Atap, suatu elemen bangunan yang sangat berperan dalam menentukan ciri dan bentuk  bangunan. Bicara mengenai atap pada masa sekarang, apalagi untuk bangunan barigunan tinggi, tentunya gambaran yang ada ialah atap datar dengan bentuk arsitektur modern ataupun post-modern.
Padahal, bila ditinjau asal mulanya, arsitektur tradisional kita hanya mengenal atap miring sebagai pelindung dan pada dasarnya atap diperlukan untuk melindungi kita dari cuaca. Dengan demikian, bentuk atap pun juga tergantung dari cuaca/iklim. Dan memang bentuk miring atap ditujukan antara lain untuk menyalurkan curah hujan agar cepat turun. Dengan membandingkan dengan bentuk-bentuk atap di daerah Mediterania, yaitu daerah dengan iklim sub-tropis, dimana hampir tidak ada curah hujan. Justru itu, bentuk atapnyapun cukup dibuat datar saja, asal bisa membentangi jarak antara dinding dindingnya. Pada perkembangan selanjutnya, muncul bentuk-bentuk lengkungan karena jarak bentang yang semakin jauh. Bahkan bentuk lengkung ini juga dipakai, walaupun jarak bentang tidak terlalu jauh.
Bangunan Tradisional
Pada masa lampau masyarakat kita secara langsung menerima bentuk-bentuk bangunannya sebagai warisan dan nenek moyangnya. Dengan demikian, tidak ada bentuk-bentuk baru yang diciptakan untuk menyempurnakan bentuk hunian mereka, karena mereka menganggap bahwa bangunan tersebut telah sempurna. Secara kegiatan, kondisi sosial dan budaya kita menunjukkan bahwa banyak kegiatan dilakukan di ruang terbuka atau paling tidak berhubungan dengan ruang luar. Kalaupun terlindung, paling hanya terlindung dan panas matahari dan hujan. Dari sini jelas terlihat, bahwa atap sangat berperan dalam bangunan kita yang kemudian dilengkapi elemen lain seperti dinding dan lantai.
Pada bangunan tradisional Indonesia, yang berada di zona tropis lembah dan memiliki curah hujan yang cukup besar dan sinar matahari yang cukup terik, atap memang dibuat dengan kemiringan yang cukup untuk mengalirkan hujan. Coba saja simak bentuk-bentuk atap dan berbagai bangunan tradisional negara kita, dapat dikatakan hampir semua bangunan tersebut menggunakan atap miring.
Secara konsepsi, bangunan tradisional kita memiliki bagian-bagian seperti kaki, badan dan kepala. Kaki adalah kolong atau umpak, badan diidentikkan dengan ruangan dan kepala adalah atap. Pada umumnya atap selalu di curam dan berteritis lebar. Bangunan tersebut menggunakan atap miring. Dengan atap miring itu pula, curah hujan dapat mengalir lancar.
Atap Datar
Dahulu, kita mengenal bentuk atap yang bermula dan konstruksi kerangka dan kemudian ditutup dengan penutup atap. Kemudian semakin berkembang bentuk atap, walau dalam hal teknologinya justru agak statis. Belakangan, setelah teknologi berkembang dan mulai diintroduksi beton, maka sudut-sudut atappun mulai bervariasi, dengan perkembangan beton memungkinkan atap datar. Sehingga yang tadinya atap datar itu asing bagi kita, kini sudah mulai banyak dipakai dan menjadi tidak asing lagi, bahkan atap datar itu pada bagian atasnya dapat dipergunakan lagi. Dan kemudian semakin berkembang karena merupakan salah satu perangkat dari dalil-dalil arsitektur modern.
Kita mengenal arsitektur bangunan kotak-kotak, yang kalau ditelusuri lebih lanjut arsitektur modern itu sangat dipengaruhi oleh figur Le Corbusier. Padahal seperti diketahui, pada masa mudanya Le Corbusier sering berkelana ke daerah-daerah sekitar Mediterania sehingga banyak dipengaruhi arsitektur sub-tropis. Dan tentunya kita tak boleh lupa bahwa peran Corbusier itu sangat besar. Ada logikanya pula, kalau bangunan itu sudah mulai bertingkat banyak, timbul suatu pertanyaan, apakah masih diperlukan atap miring ?.
Mendiang Silaban pernah mengatakan, bagaimanapun bangunan itu perlu ada atapnya, karena atap merupakan citra suatu bangunan. Dapat pula diartikan sebagai simbol martabat, ibarat topi pada manusia. Dengan demikian, bangunan bangunan Silaban, memang berusaha menampilkan atap. Atau paling tidak, untuk bangunan yang menggunakan atap datar, Silaban selalu membuat teritis yang lebar sebagai konsekwensi iklim tropis.
Di Chicago, bangunan-bangunan juga sudah mulai banyak yang menggunakan atap datar, tapi kemudian dibuat belahan-belahan menyerupai atap. Pada bangunan dengan bentang luas pun dibuat atap bertahap semakin lama semakin kecil sehingga membentuk suatu klimaks. Hal itu sedikit banyak menyatakan, bahwa ada perasaan bahwa bagaimanapun atap itu penting, karena memang selalu ada pengolahan penyelesaian khusus. Pada aliran Bauhaus, atap tidak diselesaikan secara khusus. Apakah bangunan itu setinggi 14 lantai, 18 lantai atau berapa saja, sama saja. Sedangkan pada dalil-dalil Renaissance, bangunan itu mempunyai landasan, badan dan mahkota. Mungkin karena aliran sosialisasi pada waktu itu, sehingga kemudian mahkota-mahkota dihilangkan dan jadilah bangunan dengan atap-atap datar. Tapi, kita tak perlu khawatir, sekarang sudah mulai tampak bahwa atap akan kembali menghias bangunan bangunan kita masa kini. Para arsitekpun sudah terlihat memiliki kecenderungan untuk kembali merangkul atap itu. Tidak hanya dikepala, tapi juga di “tangan tangannya”, di’ ‘sisik-sisiknya”, seperti gedung Rektorat di kampus UI Depok, misalnya. Ataupun Wisma Dharmala karya Paul Rudolf itu.

Kontekstual 

Pada suatu waktu, suatu bangunan memerlukan bentang yang cukup besar, dan untuk kasus ini timbul pertanyaan, apakah wajar menggunakari atap-atap seperti yang kita kenal itu pada bangunan-bangunan dengan bentang besar?
Dan apakah bentuk-bentuk sepenti limasan, gonjong atau joglo itu cocok untuk bentang seperti itu. Apakah nanti kita tidak mendapatkan suatu akrobatik dan pemaksaan bentuk?
Seyogyanya bangunan itu mencirikan keadaan setempat, apalagi untuk daerah daerah yang memang memiliki ciri karakteristik bangunan tersendiri. Namun konsep kontekstual tersebut memang perlu dipertanyakan pada bangunan-bangunan dengan bentang besar, seperti Hanggar pesawat, misalnya.
Pada masa sekarang teknologi sudah maju dan konstruksi juga semakin beragam sehingga memungkinkan suatu bentuk yang tersendiri dan khas, misalnya dengan sistem konstruksi gantung, tabung dan sebagainya. Dengan bentuk-bentuk tersendiri itu, tidak terlihat lagi keterikatannya dengan lingkungan setempat, sehingga kemudian dipertanyakan konteksnya. Disatu pihak tuntutan bentang memerlukan konstruksi khusus yang tidak konvensional, di lain pihak konteksnya dipertanyakan. Salah satu diantaranya “form follow the function”
Misalnya Hanggar pesawat dibuat dengan atap gonjong seperti atap rumah tradisionil Minang, itu kan sulit. Walaupun dibuat aturan yang mengharuskan demikian, tetapi selain sulit konstruksinya juga apakah itu tidak terlalu dipaksakan? Juga biaya konstruksinya akan besar. Tetapi bandar udara biasanya terletak di tempat terbuka yang luas dan terlepas dan dapat bermanfaat sebagai tempat penerimaan, namun tidak perlu di hanggarnya kesan penerima itu, dapat saja pada bangunan penerima pemberangkatan. Dan suatu waktu nanti mungkin saja hangar dijauhkan dari bandara udara.
Ada sikap lain dari beberapa arsitek, yaitu hanya entrancenya yang dibuat kontekstual, sedangkan bangunan utamanya modern. Ini memang suatu sikap untuk mencari suatu fungsional obyektif. Namun diakui, bahwa memang atap pada puncak bangunan tinggi itu tidak dapat dinikmati dengan skala manusia lagi, tapi toh keinginan bahwa bangunan itu mempunyai “topi” tetap ada.
Dalam menikmati bangunan dengan atap-atap ini beberapa para arsitek dalam beberapa seminar mengungkapkan bahwa dalam menilai keindahan menikmati atap miring teori yang tepat adalah teori obyektif, karena teori obyektif ini merupakan kondisi nyata yang dikandung oleh atap itu sendiri. Dan dapat ditelaah secara sistematis. Ada tujuh unsur yang dapat dipakai untuk menilai keindahan yaitu unsur kesatuan, perbandirigan ukuran (proporsi), skala, keseimbangan, irama, urutan dan klimaks. Ketujuh unsur ini memang tidak harus selalu terpenuhi, misalnya karena perimbangan teknis, ekonomi ataupun fungsi.
Dalam seminar yang pernah diadakan diadakan di kampus FT-UI, menyatakan juga pada dasarnya aspek fisik atau diistilahkan dengan ragawi, erat kaitannya dengan aspek non fisik (non ragawi). Dan bangunan-bangunan yang menggunakan atap-atap ini dapat dinilai/dinikmati melalui kedua aspek tersebut. Yang dimaksud dengan aspek ragawi adalah bentuk arsitekturnya, sedangkan aspek non ragawi adalah esensi yang tidak berwujud.
Peran atap yang dianggap penting adalah memang berdasarkan fungsi fisik yaitu melindungi aktifitas dibawahnya dan keadaan/kondisi iklim, namun tidak boleh dilupakan juga peran makna/simbol yang terkandung didalamnya. Tidak banyak arsitek yang menggunakan makna simbol pada atap dalam bangunan rancangannya, namun bukan berarti tidak ada. Suatu contoh adalah Rektorat UI di kampus Depok. Bangunan ini berperan sebagai simbol lingkungan, sebagai titik orientasi dan tengeran (trade-mark) kampus UI. Perwujudan makna dan simbol ini sebenarnya berkaitan dengan perwujudan nilai-nilai estetik dan keduanya selalu menyatu serta menghasilkan suatu obyek yang mudah diterima masyarakat dan disukai, bila tersaji dengan baik.
Dalam pelaksanaannya, pemakaian atap banyak dikaitkan dengan penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap. Padahal sekitar tahun enam puluhan banyak dipakai atap sirap. Hal ini disebabkan bahwa kualitas atap sirap yang kita peroleh sekarang ini sulit dan agak kurang baik, sehingga daya tahannya juga berkurang. Setelah sepuluh tahun pada umumnya paku-pakunya berkarat dan dapat mengakibatkan bocornya atap.
Labels:
0
COMMENTS
Build a Mobile Site
View Site in Mobile | Classic
Share by: