“Memangnya kenapa, Akbar?” tanya
guru menanggapi.
“Lihat, Bu, agar jadi beras yang
bersih, yang siap dimasak menjadi nasi, padi harus melepaskan kulitnya. Kita
harus seperti itu, Bu.”
Ibu guru tertegun dan bangga.
Akbar yang baru kelas IV SD sudah bisa memetik nilai dari sebuah proses
penggilingan padi. Sepulang dari sawah, Ibu Guru meminta siswa mengambil
nilai-nilai yang mereka dapatkan.
“Kita harus bersyukur dengan
rezeki yang diberikan Tuhan,” kata Gita sambil angkat
tangan.
“Kita harus menghargai jerih
payah petani,” tukas Hani.
Beberapa siswa lain pun
menambahkan hasil refleksinya. Itu semua makna yang dapat diungkapkan dalam
bahasa lisan. Namun, guru menemukan pelajaran paling berharga yang tak
diungkapkan siswa lewat kata-kata. Sejak itu, tidak ada sebutir nasi pun yang
tersisa di piring mereka ketika makan siang bersama di sekolah. Mereka sudah
meninggalkan kesia-siaan atau kemubadziran.
Kisah tersebut bukan fiktif,
melainkan aktivitas nyata anak-anak SD yang menerapkan pendidikan berbasis
karakter sebagai bagian dari masukan waktu menyusun dan merumuskan Kurikulum
2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap, ketrampilan dan pengetahuan. Pagi
itu mereka tengah belajar tentang empati: merasakan langsung bagaimana rasanya
menjadi petani. Empati diyakini para ahli sebagai inti emosi moral yang membantu
anak didik memahami perasaan orang lain. Empati membuat mereka peka terhadap
kebutuhan orang lain dan mendorong mereka untuk saling menolong dan saling
mengasihi.
Begitulah salah satu contoh
praksis pendidikan moral atau karakter. Jangan bayangkan mereka harus menghafal
setumpuk dalil dan teori tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter
luhur lainnya. Itu hanya menambah pengetahuan tentang kebaikan. Penting tapi tak
cukup. “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good,”
kata Thomas Lickona. Para pendidik bangsa saat dulu mendirikan sekolah agar
anak-anak didik mereka mengetahui yang baik, mencintai yang baik, dan
mengamalkan yang baik. Itulah etika (kebaikan). Tentu diajarkan pula tentang
logika (kebenaran) dan estetika (keindahan).
Jadi, tak ada yang meragukan
perlunya pembentukan karakter. Sebab, bila seseorang kehilangan karakternya, ia
kehilangan sisi genuine-nya dan kehadirannya di publik akan kehilangan
kemanfaatan bahkan menambah rumitnya kehidupan. Layaknya dalam pertunjukan
sirkus, mereka yang tampil (sirkustor) telah mengalami de-i-sasi. Singa yang
buas dan ditakuti jadi jinak dan tampak lucu. Ia mengalami proses
de-singa-i-sasi. Begitu juga dengan hewan-hewan lain, semua telah kehilangan
watak orisinalnya. Tentu saja hal itu mengagumkan dan menyenangkan bagi
penonton. Semakin jauh dari karakter orisnilnya, semakin lucu dan menarik.
Itulah dunia sirkus. Namun kehidupan ini sejatinya bukanlah sirkus, bukan
lucu-lucuan, tetapi dalam kehidupan yang sejati, para pelaku harus memainkan
masing-masing karakter orisilnya (genuine).
Bagaimana jika de-i-sasi itu
terjadi dalam kehidupan nyata? Penegak hukum dengan keadilan sebagai karakter
dan perilaku dasarnya ternyata harus diadili. Tokoh masyarakat yang berfungsi
sebagai pencerah ternyata justeru menyesatkan dan harus dicerahkan. Wakil rakyat
yang mestinya menyerap aspirasi rakyat dan memperjuangkannya, malah korupsi uang
rakyat secara kolektif. Pendidik harus dididik. Demikian seterusnya. Pembicaraan
mereka di ranah publik bisa saja mengagumkan, tapi manfaat nyata bagi perubahan
masyarakat sulit diharapkan. Karena kehilangan karakternya. Mereka hanya jadi
tontonan dan tak pernah jadi tuntunan. Itulah gambaran dari peribahasa Inggris,
“
When wealth is lost, nothing is lost; when
health is lost, something is lost; when character is lost, everything is
lost
.”
Bangsa ini membutuhkan bukan
saja orang-orang jenius dalam perspektif pengetahuan dan ketrampilan, tetapi
juga membutuhkan orang yang santun dalam bertutur kata, menghargai, menghormati
sesama dan memanusiakan manusia (humanizing the human being). Dalam bahasa
Kurikulum 2013, yang kita bangun adalah generasi yang memiliki keutuhan
kompetensi sikap (attitude), ketrampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge).
Keutuhan ketiga kompetensi tersebut menghantarkan menuju kesempurnaan. Itulah
tradisi profetik dan tradisi pendiri bangsa yang menjadi sumber keteladanan bagi
kita.
Sehubungan dengan itu, menarik
sekali apa yang disampaikan oleh salah satu pendiri dan guru bangsa sekaligus
pendiri NU, KH Hasyim Asy‘ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal
Muta‘allim: semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun
perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi pekerti yang
terpuji. Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik) menjadi tanda bahwa
amal itu akan diterima kelak di akhirat.
Kini pertanyaannya: bagaimana
caranya, dari mana harus memulai, dan kapan saat yang tepat untuk mendidik
karakter baik ini?. Insha Allah akan diulas pada tulisan berikutnya.
[]
--------
Mohammad Nuh, Guru Besar Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
[ Sumber :
KORAN SINDO, 19 Maret 2017 ]