Tiga Tantangan Jokowi-JK di Bidang Pendidikan
Oleh: Martin Suryajaya
KEMENANGAN pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam pemilu yang lalu tak dapat
dilepaskan dari beberapa program terkait pendidikan yang menarik buat banyak
pemilih di Indonesia. Salah satu program menarik Jokowi-JK di bidang pendidikan
adalah pemberlakuan subsidi penuh atas pendidikan sampai setingkat SMA yang akan
dilaksanakan melalui instrumen Kartu Indonesia Pintar. Pemberlakuan program ini
akan membebaskan biaya pendidikan masyarakat secara penuh (tanpa iuran dan
sumbangan apapun) pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Selain itu,
program pendidikan yang juga menarik perhatian para pemilih ialah penghapusan
sistem Ujian Nasional sebagai standar tunggal dan universal pengukur
keberhasilan pendidikan. Ditambah dengan perumusan kurikulum baru berbasis budi
pekerti dan kewarganegaraan serta peningkatan muatan riset dan teknologi pada
aras pendidikan tinggi, program-program ini menerbitkan simpati warga dan
karenanya punya andil dalam terpilihnya Jokowi-JK pada pemilu yang lalu.Persoalan yang kemudian timbul adalah seberapa jauhkah Jokowi-JK mampu
mewujud-nyatakan program pendidikan yang dicanangkannya pada masa kampanye
tersebut. Pertanyaan pentingnya menjadi: tantangan apa saja yang harus dihadapi
Jokowi-JK sehingga agenda kebijakannya terkait pendidikan bisa terlaksana?
Mungkinkah Jokowi-JK menjawab rentetan tantangan tersebut berdasarkan kerangka
acuan yang mereka rumuskan sejauh ini? Jika tidak, dengan strategi macam apakah
tantangan-tantangan tersebut dapat dijembatani? Tantangan-tantangan dan strategi
untuk mengatasinya menjadi dua pokok utama yang akan dipetakan dalam artikel
ini. Namun, sebelum sampai ke situ, kita akan meringkaskan terlebih dulu agenda
kebijakan Jokowi-JK tentang pendidikan. Pokok-Pokok Kebijakan Pendidikan Jokowi-JK
Pertama-tama, kita perlu menilik kerangka perundang-undangan terkait
pendidikan di Indonesia. Ada dua landasan hukum paling fundamental yang menjadi
acuan perumusan kebijakan terkait pendidikan: - Pembukaan UUD 1945: Arah tujuan nasional dari Republik Indonesia adalah
untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia”.
- UUD 1945 Pasal 31:
- Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
- Negara memprioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Undang-Undang Dasar 1945 kita jelas mengatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib
membiayainya. Artinya, menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat
Indonesia merupakan tugas pemerintah. Dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional juga sudah dinyatakan bahwa alokasi anggaran untuk
pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Namun cita-cita menyelenggarakan
pendidikan nasional yang merata dan bermutu ini masih berbenturan dengan
kenyataan bahwa Indonesia menempati peringkat terendah dalam sistem pendidikan
di dunia (menurut riset pendidikan Pearson 2012).[1] Selain itu, Indonesia juga
menempati posisi rendah dalam hal budaya membaca buku (terendah di kawasan Asia
Timur).[2]
Berdasarkan latar belakang konstitusional dan fakta empiris tersebut,
Jokowi-JK kemudian merumuskan sejumlah misi yang terkait dengan persoalan
pendidikan. Hal itu tercantum dalam dokumen Visi, Misi dan Program Aksi
Jokowi-Jusuf Kalla 2014
(selanjutnya disingkat ‘Visi-Misi’). Visi umum
Jokowi-JK adalah “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Sementara misi yang agak lebih
spesifik berkenaan dengan pendidikan termuat dalam dokumen Visi-Misi, khususnya
pada butir 4, 5 dan 7 sebagai berikut:
- Butir 4: “Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan
sejahtera.”
- Butir 5: “Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing.”
- Butir 7: “Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam
kebudayaan.”
Apabila diuraikan menjadi misi yang berkaitan langsung dengan pendidikan,
maka terdapat lima misi pendidikan Jokowi-JK:
- Meningkatkan ketersediaan
layanan pendidikan.
- Memperluas keterjangkauan
layanan pendidikan.
- Meningkatkan kualitas
layanan pendidikan.
- Mewujudkan kesetaraan
memperoleh layanan pendidikan.
- Mewujudkan tata kelola
Agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK ini juga terumuskan secara lebih
eksplisit dalam ringkasan agenda pemerintahan Jokowi-JK yang disingkat sebagai Nawa Cita
dan tercantum dalam dokumen Visi-Misi. Dalam ringkasan
tersebut, arah kebijakan terkait pendidikan tertuang dalam butir 5, 6 dan 8:
- Butir 5: “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan
kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ‘Indonesia Pintar’ dengan wajib
belajar 12 tahun bebas pungutan”.
- Butir 6: “Meningkatkan produktivitas rakyat dan dayta saing di pasar
internasional [dengan] membangun sejumlah Science
dan Techno Park
di daerah-daerah, politeknik dan SMK-SMK dengan sarana dan prasarana
berteknologi maju”.
- Butir 8: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan
kurikulum pendidikan nasional”.
Penjabaran lebih lengkap dari agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK terdapat
dalam rincian 31 agenda strategis yang juga termuat dalam Dokumen Visi-Misi.
Penjabaran ini khususnya tertuang dalam butir 1 dari bagian “Berkepribadian
dalam Bidang Kebudayaan” yang bertajuk: “Kami berkomitmen mewujudkan pendidikan
sebagai pembentuk karakter bangsa”. Ada sepuluh program prioritas terkait
pendidikan yang termuat di sini:
- Menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek
pendidikan kewarganegaraan, seperti sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai
cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti. Ada 70% porsi bahan ajar
tentang budi pekerti di tingkat pendidikan dasar. Penambahan bahan ajar ini
tidak hanya dilakukan dalam bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn),
tetapi juga diwujudkan dalam praktik ajar sehari-hari di sekolah.
- Memperjuangkan agar biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara.
- Menghapuskan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, termasuk
penghapusan Ujian Nasional (UN). Sistem Ujian Nasional mesti dihapuskan karena
sangat memungkinkan terjadinya kecurangan. Oleh karena itu, kebijakan kelulusan
siswa semestinya dikembalikan ke masing-masing sekolah yang bersangkutan sesuai
dengan UU Sisdiknas.
- Mengupayakan penyusunan kurikulum yang menjaga keseimbangan antara aspek
muatan lokal dan aspek nasional dalam kerangka ke-bhineka-an.
- Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan. Termasuk juga penyediaan buku
dan perpustakaan sehingga Indonesia tidak lagi tenggelam dalam ‘budaya nol buku’
atau rendahnya budaya baca.
- Melakukan penerimaan dan penyebaran tenaga pengajar berkualitas secara
merata sehingga mempercepat kenaikan jabatan guru honorer menjadi guru tetap.
- Memberikan jaminan hidup yang memadai bagi para guru yang ditugaskan di
daerah terpencil, melalui tambahan tunjangan, asuransi, pengembangan keilmuan
serta promosi kepangkatan. Perbaikan sistem sertifikasi sehingga pencairan dana
sertifikasi dapat diperoleh setiap guru secara rutin dan lebih mudah.
- Mewujudkan pemerataan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia,
termasuk pembangunan sarana transportasi terkait.
- Memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan
dan menghapus segala pungutan.
- Mendorong terwujudnya pendidikan yang berbasis peningkatan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Apabila sepuluh program prioritas itu hendak diperas, maka ada empat program
unggulan Jokowi-JK di bidang pendidikan:
- Pendidikan gratis untuk rakyat
- Pembebasan biaya dan pungutan mulai dari tingkat SD sampai SMA
- Perluasan pemberian beasiswa mulai dari jenjang pendidikan D3 hingga
S3
- Demokratisasi pendidikan
- Penghapusan Ujian Nasional
- Penyusunan kurikulum pendidikan yang seimbang antara muatan lokal dan
nasional
- Pendidikan berkebudayaan
- Pengutamaan pada pendidikan budi pekerti (70%) pada tingkat pendidikan dasar
dan pendidikan praktis-politeknik (60%) pada tingkat pendidikan tinggi
- Pelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan berbasis ilmu
pengetahuan dan teknologi
- Penyejahteraan guru
- Peningkatan tunjangan bagi guru di daerah terpencil
- Pemerataan rekrutmen dan distribusi guru
- Penguatan profesi guru dengan pengembangan kompetensi
Akhirnya, keseluruhan visi, misi dan program aksi Jokowi-JK terkait
pendidikan dapat dirangkum secara diagramatik. Keterkaitan antara visi, misi dan
seluruh program Jokowi-JK terkait pendidikan dapat dijabarkan melalui diagram
berikut.
Berdasarkan ringkasan pokok-pokok kebijakan Jokowi-JK terkait pendidikan ini,
kita dapat menggali sejumlah tantangan yang inheren dalam implementasinya. Kita
akan membatasi diri pada tiga bentuk tantangan saja, yakni terkait subsidi,
kurikulum budi pekerti dan demokratisasi standar pendidikan nasional. Tantangan Subsidi Pendidikan
Jokowi-JK menjanjikan pemberlakuan subsidi pendidikan yang komprehensif
(bebas pungutan apapun) dan universal
(mencakup
seluruh kelompok sosial di semua daerah). Namun skema subsidi semacam itu sudah
diperlakukan sejak Orde Baru, kendati pada rentang pendidikan yang lebih sempit.
Pada kesempatan perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 1984, Suharto, sebagai
presiden kala itu, mencanangkan pemberlakuan program Wajib Belajar 9 Tahun yang
meliputi jenjang pendidikan SD hingga SMP. Program serupa juga terus
diberlakukan hingga era Reformasi dan sampai dengan hari ini. Namun, dari segi
kemenyeluruhan dan keuniversalan, program itu amatlah terbatas. Program
tersebut, misalnya, tidak betul-betul membebaskan biaya pendidikan secara
menyeluruh. Orang tua murid tetap harus membayar biaya buku-buku pelajaran,
iuran kegiatan ekstra-kurikuler dan sebagian mesti membayar uang gedung, biarpun
sudah dipotong subsidi. Selain itu, program Wajib Belajar semacam ini juga tidak
mencakup seluruh sekolah di berbagai provinsi.Keterbatasan skema subsidi pendidikan yang ada selama ini dapat kita tinjau
dampaknya pada tingkat partisipasi sekolah yang aktual di Indonesia dan
sebarannya di berbagai provinsi. Asumsi yang akan kita gunakan di sini adalah
bahwa skema subsidi pendidikan yang komprehensif
dan universal
mesti mencakup juga semua prasyarat partisipasi sekolah
peserta didik.
Artinya, rendahnya partisipasi mesti dipandang sebagai fenomena dari kegagalan
dalam ciri komprehensif dan/atau universal skema subsidi terkait. Melalui survei
BPS mengenai indikator pendidikan 2013, kita memperoleh gambaran tentang tingkat
partisipasi sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan dan rentang usia yang
ditargetkan dalam program Wajib Belajar. Kita akan berpatokan pada Angka
Partisipasi Murni (APM) yang diperoleh sebagai rasio jumlah murid yang
bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan rentang usianya terhadap
jumlah penduduk pada rentang usia terkait. Berikut adalah APM dari tingkat SD
hingga Perguruan Tinggi dalam lima tahun terakhir. Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan
Formal, 2009-2013
Sumber:
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1
.
Diunduh 4 September 2014.Melalui data ini, kita memperoleh gambaran bagaimana partisipasi murni pada
jenjang SMP masih jauh dari partisipasi di jenjang SD dengan selisih sebesar
21,91 persen. Hal lain yang menarik adalah penurunan partisipasi murni pada
jenjang SD dari tahun 2010 ke 2011 sebesar 3,77 persen. Dua fakta ini
menunjukkan bahwa program Wajib Belajar tidak mewujudkan hasil yang optimal.
Betul bahwa tingkat kemenyeluruhan kebijakan subsidi pendidikan dalam skema
Wajib Belajar 9 Tahun tidak sepenuhnya dicerminkan oleh APM. Kendati begitu, APM
tetap merupakan salah satu indikator penting untuk mengevaluasi ciri
komprehensif program Wajib Belajar yang memang menyasar partisipasi pada jenjang
pendidikan terkait rentang usia. Maka, berdasarkan asumsi yang telah disebut di
muka, data APM ini menunjukkan kurang komprehensifnya skema subsidi pendidikan
yang berlaku.Keterbatasan skema subsidi pendidikan yang ada juga bisa ditinjau secara
empiris dari segi universalitasnya. Tinjauan ini dapat didasarkan pada data APM
per provinsi yang dihasilkan oleh BPS. APM Pendidikan Formal per Provinsi,
2013
Sumber
: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=6
.
Diunduh pada 4 September 2014.Melalui data ini, kita dapat merekonstruksi selisih APM yang tertinggi dan
terendah antar provinsi di setiap jenjang pendidikan. Hasilnya adalah sebagai
berikut: - Selisih APM SD: 98,72 (DI Yogyakarta) – 72,90 (Papua) = 25,82%
- Selisih APM SMP: 82,59 (Kepri) – 45,88 (Papua) = 36,71%
- Selisih APM SMA: 67,10 (Bali) – 36,53 (Papua) = 30,57%
Dari selisih ini kita melihat bahwa tingkat selisih APM tertinggi justru
terdapat pada jenjang pendidikan yang merupakan sasaran dari program Wajib
Belajar 9 Tahun, yakni pada jenjang SMP dengan selisih sebesar 36,71 persen. Hal
ini menunjukkan dengan cara yang amat gamblang bagaimana skema subsidi
pendidikan yang ada belum benar-benar universal cakupannya. Sebab, berdasarkan
asumsi kita, skema subsidi pendidikan yang komprehensif dan universal mesti
mencakup juga semua prasyarat partisipasi sekolah peserta didik, sehingga
besarnya selisih APM SMP menunjukkan kekurang-universalan skema subsidi yang
berlaku.Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan agenda kebijakan pendidikan
Jokowi-JK dan kenyataan partisipasi sekolah di Indonesia, maka tantangan agenda
subsidi pendidikan Jokowi-JK terletak pada persoalan universalitas dan
kemenyeluruhan skema subsidi yang akan diterapkan. Seberapa jauhkah Jokowi-JK
akan mendorong realisasi Kartu Indonesia Pintar hingga betul-betul berciri
komprehensif dan universal—itulah tantangan utama pemerintahan Jokowi-JK dalam
hal subsidi pendidikan. Tantangan Kurikulum Budi Pekerti dan Kewarganegaraan
Dari segi kurikulum, Jokowi-JK menawarkan penekanan pada pendidikan karakter
lewat pelajaran budi pekerti dan kewarganegaraan. Kedua elemen pembelajaran itu
akan meresapi keseluruhan kurikulum pendidikan dasar hingga menengah. Dalam
dokumen Visi-Misi dinyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki porsi tak kurang
dari 70 persen dari total materi yang diajarkan dari SD hingga SMA. Seperti
halnya kebijakan subsidi pendidikan, penekanan pada pendidikan karakter juga
bukan hal baru dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia. Kita dapat
mempelajari riwayat perubahan paradigma penyusunan kurikulum, distribusi mata
pelajaran (mapel) dan peran pendidikan karakter di dalamnya melalui tabel yang
disarikan dari materi Dikti berikut. Sejarah Perkembangan Kurikulum di
Indonesia, 1947-2013
Disarikan dari
: http://pjjpgsd.dikti.go.id/mod/resource/view.php?id=26&subdir=/Revisi_Bahan_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD
.
Diunduh pada 5 September 2014.Dalam tabel di muka, dapat kita saksikan bahwa penekanan pada pendidikan
karakter bukanlah hal yang baru dalam sejarah perkembangan kurikulum di
Indonesia. Paradigma seperti itu bahkan sudah muncul sejak disahkannya kurikulum
pertama Republik Indonesia di tahun 1947. Dapat kita amati bahwa memang terdapat
tren penurunan dalam penekanan character building
itu sejak jatuhnya
Sukarno dan naiknya Orde Baru. Konsolidasi rezim Orde Baru menghasilkan dua
dampak pada kurikulum pendidikan nasional: penekanan pada pendidikan kognitif
alih-alih karakter dan penciutan atas pendidikan karakter pada pendidikan moral
Pancasila yang sarat ideologi Orde Baru. Tren menguatnya penekanan pada
pendidikan karakter kita jumpai kembali pada era Reformasi, yakni sejak
Kurikulum 2004. Namun fokus pada character building
ini cenderung ke
arah distopia dalam Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013, sikap dan penghayatan
religius siswa dimasukkan sebagai bagian dari komponen penilaian. Artinya, siswa
yang luar biasa pandai dalam mata pelajaran fisika tetapi kurang menghayati
agama, bisa saja dinyatakan tidak tuntas dalam mata pelajaran fisika.Tantangan kebijakan pendidikan Jokowi-JK di aras kurikulum bersumber dari
pengalaman penerapan kurikulum yang ada sejauh ini. Ringkasnya, apa yang mesti
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK ialah mewujudkan sintesis baru antara
pendidikan karakter dan kognitif. Dalam hal ini, ada dua kecenderungan historis
yang berlawanan secara diametral dan keduanya mesti dielakkan: - Kecenderungan pedagogi Orba yang berpusat pada aspek teknis-kognitif dan
menciutkan permasalahan karakter pada ideologi Pancasila yang telah difabrikasi
oleh rezim Suharto.
- Kecenderungan pedagogi ultra-moralis khas Reformasi, khususnya Kurikulum
2013, yang berpusat pada pendidikan karakter yang telah diciutkan menjadi
perkara agama dan dipaksakan secara tidak selaras sebagai kriteria evaluasi
mapel-mapel yang sebetulnya tak berhubungan dengan agama.
Keduanya hanya dapat dihindarkan apabila pemerintahan Jokowi-JK berhasil
merumuskan kembali gagasan tentang pendidikan karakter secara lebih selaras
dengan pendidikan kognitif.Salah satu solusi penyelerasan itu ialah penggunaan bingkai pendidikan
humaniora
. Di sini, ide tentang pendidikan karakter mesti dikontekskan ke
dalam materi yang memang dipelajari di sekolah. Salah satu mapel yang paling
cocok untuk menyemai fondasi karakter adalah mapel-mapel bahasa. Apabila
pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris (serta bahasa-bahasa daerah dan asing
lain yang diajarkan) dapat dirombak dengan memberikan porsi yang amat besar pada kesusastraan
, maka hal itu akan menjadi ladang persemaian karakter yang
selaras dengan alur pengajaran di sekolah. Dengan mempelajari karya-karya
sastra, baik lokal maupun dunia, para siswa akan digerakkan dari dalam hatinya
sendiri untuk mengambil sikap dan mengasah intuisi etisnya. Friedrich Schiller
mengatakan, dalam Letters on the Aesthetic Education of Mankind
(1794),
bahwa pendidikan estetis adalah kunci bagi kebijaksanaan dan kemawasan di setiap
cabang kehidupan, termasuk politik. Jadi solusi atas dilema pendidikan karakter
dalam kurikulum kita ialah perluasan mapel bahasa menjadi mapel kesusastraan
dan penambahan alokasi waktu bagi mapel kesusastraan tersebut
.
Jika Jokowi-JK berkomitmen untuk menjadikan pendidikan budi pekerti menempati
porsi 70 persen dari materi pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah, maka
hal itu dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam pendidikan
kesusastraan. Solusi di muka mesti dibarengi dengan transformasi daya kognitif
agar tak berhenti sebatas pemerolehan pengetahuan teknis-instrumental, tetapi
juga kritis-reflektif. Hal ini dapat dilakukan dengan pelajaran filsafat di
jenjang menengah, seperti halnya diberlakukan dalam lembaga pendidikan menengah
atas di Jerman ( Gymnasium
) dan Prancis ( lycée
). Pelajaran
filsafat akan mengolah intuisi etis yang telah terasah dalam pendidikan
kesusastraan sejak SD dan membuat siswa mampu mengartikulasikan sikapnya secara
kritis dan sistematis melalui argumen yang masuk akal dan dapat diperdebatkan.
Singkatnya, kunci dari dikotomi antara pendidikan karakter dan kognitif terletak
pada perluasan pengajaran sastra di tingkat SD dan pengajaran filsafat di
tingkat SMA. Tantangan Demokratisasi Standar Pendidikan Nasional
Tolok ukur penilaian pendidikan kita selama ini sudah mengalami penyeragaman,
seakan-akan tingkat kecerdasan siswa di kota besar dan pelosok Nusantara dapat
diukur berdasarkan satu standar yang sama. Contoh paling terang dari
penyeragaman itu ialah diberlakukannya sistem Ujian Nasional yang seragam di
seluruh Indonesia. Penyeragaman semacam ini mengabaikan perbedaan konteks
pendidikan murid di tiap daerah. Padahal belum tentu sarana pendidikan yang sama
terpenuhi di setiap tempat secara setara. Terjadi uneven development
dalam praktik pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Angka Partisipasi
Murni antar provinsi yang sudah dibahas tadi merupakan salah satu ilustrasinya.
Jokowi-JK melihat bahwa hal ini keliru. Tidak semestinya masyarakat Indonesia
yang berbeda-beda situasinya itu diharuskan menjalani proses pendidikan yang
sama persis. Untuk itu, Jokowi-JK akan memberikan ruang kemerdekaan yang lebih
luas bagi sekolah di tiap daerah untuk mengembangkan sistem pengajarannya.
Materi yang berasal dari muatan lokal dan nasional akan diberikan porsi yang
seimbang. Sistem Ujian Nasional yang seragam akan dihapuskan dan digantikan
dengan sistem penilaian yang lebih demokratis, yang memerdekakan setiap sekolah
untuk merancang mekanisme penilaiannya dalam dialog yang setara dengan
kementrian pendidikan dan kebudayaan.Namun penghapusan Ujian Nasional menghadirkan tantangan tersendiri. Wacana
soal ini tidak hanya beredar dalam kampanye Jokowi-JK. Komisi X DPR juga sudah
memulai pembicaraan tentang kemungkinan penghapusan Ujian Nasional di tingkat SD
dan SMP.[3] Namun Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mempersoalkan lenyapnya standar pendidikan di
Indonesia apabila sistem Ujian Nasional dihapuskan.[4] Gugatan soal standar
pendidikan ini menjadi argumen umum yang lazim dilontarkan untuk menolak
penghapusan Ujian Nasional. Dalam Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2007 memang
dinyatakan bahwa salah satu fungsi Ujian Nasional adalah sebagai instrumen untuk
menilai pencapaian pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Artinya, tantangan
kebijakan penghapusan Ujian Nasional adalah menyediakan standar pengganti yang
lebih sesuai. Kita tak mungkin menolak ide tentang standar pendidikan sebab
standar semacam itu perlu untuk mengukur capaian proses belajar-mengajar dan
sebagai alat bantu untuk menyesuaikan proses pendidikan agar tercapai target
yang diinginkan. Apa yang mungkin ditolak ialah cakupan nasional dari Ujian
Nasional tersebut, sebab di situlah letak akar permasalahannya. Uneven
development
dalam praktik pendidikan di tiap daerah memustahilkan
penggunaan standar yang efektif dan universal dalam mengukur capaian pendidikan.
Jadi standarisasi pendidikan tetap perlu dilakukan, tetapi tidak pada aras
nasional, melainkan disesuaikan dengan kondisi konkrit di daerah. Apa yang kita
perlukan bukanlah Ujian Nasional melainkan Ujian Daerah. Ini adalah salah satu
solusi yang mungkin untuk menjembatani tuntutan penghapusan Ujian Nasional dan
tuntutan bagi adanya standar pendidikan. ***
Dengan demikian, terdapat tiga tantangan besar terhadap perwujudan kebijakan
Jokowi-JK terkait pendidikan: - Tantangan subsidi pendidikan
- Tantangan pendidikan budi pekerti dan kewarganegaraan
- Tantangan demokratisasi standar pendidikan nasional
Secara lebih konkrit, ketiga tantangan tersebut dapat diuraikan ke dalam
rumusan yang sekaligus menyimpan solusi terhadapnya. - Rendahnya Angka Partisipasi Murni pendidikan formal dan tidak meratanya
angka tersebut antar provinsi menunjukkan bahwa skema subsidi pendidikan mesti
berwatak komprehensif
(pembebasan semua biaya) sekaligus universal
(mencakup semua warga negara).
- Terbentangnya jurang antara pendidikan karakter dan kognitif dapat
dijembatani lewat pendidikan kesusastraan
di tingkat SD hingga SMA dan filsafat
di tingkat SMA. Hanya dengan cara itulah poros ekstrem antara
ultra-moralisme Kurikulum 2013 dan pedagogi teknis-ideologis Orde Baru dapat
dihindarkan.
- Penghapusan Ujian Nasional tidak boleh disertai dengan penghapusan standar
pendidikan apapun, melainkan mesti ditransformasi ke dalam Ujian Daerah
yang mengakomodasi kondisi uneven development
pendidikan di tiap
daerah.
Ketiga tantangan inilah yang mengemuka di hadapan Jokowi-JK. Solusi atas
ketiganya sudah terkandung di dalam permasalahan itu sendiri. Tak ada hambatan
teknis apapun yang dapat menghalangi Jokowi-JK mengambil ketiga solusi tersebut.
Republik ini tidak kekurangan suatu apapun untuk menempuh jalan keluar itu. Yang
menentukan hanyalah perkara konsistensi pilihan politik Jokowi-JK pada revolusi
mental.***———[1] Lih. http://thelearningcurve.pearson.com/reports/the-learning-curve-report-2012/towards-an-index-of-education-outputs
.
Bdk. laporan Kompas: http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia
.
Diunduh pada 4 September 2014.[2] http://oase.kompas.com/read/2009/06/18/02590466/budaya.baca.indonesia.terendah.di.asia.timur
.
Diunduh pada 4 September 2014.[3] http://www.antaranews.com/berita/432746/dpr-akan-wacanakan-penghapusan-un-sd-dan-smp
.
Diunduh pada 5 September 2014.[4] Lih. http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/22/3/148631/Kemendikbud-Tolak-Penghapusan-UN-
& http://harnas.co/2014/06/23/kemendikbud-penghapusan-un-perlu-dikaji-ulang
.
Diunduh pada 5 September 2014.[Sumber : http://indoprogress.com/]