MAY
28

Sekolah Hidup Susah

Untuk menjadi kaya, semua orang bisa instan melakoni. Namun, tidak  siapa saja siap menjadi orang susah. 

Orang miskin baru kian banyak. Penganggur baru menambah bengkak angka  kemiskinan. Bisa jadi, itu sebabnya, selain angka bunuh diri tinggi,  tiga dari sepuluh orang Indonesia tercatat terganggu jiwanya. 

Tidak siap hidup susah berisiko sakit jiwa. Ada cara sederhana  menekan risiko sakit jiwa. Sejak kecil anak dibuat tahan banting.  Ketahanan jiwa anak harus dibangun. Untuk itu, jiwa  butuh "imunisasi". 

Menerima kenyataan 

Sejak kecil anak diajar lebih membumi. Yang gagal kaya rela menerima  kenyataan. Yang belum pernah hidup susah diajar prihatin sedari  kecil. Kendati kecukupan, tidak semua yang anak minta perlu diberi.  Anak dilatih merasakan kegagalan. 

Tugas orangtua dan guru mengajak anak berempati pada kesusahan orang  lain. Hidup tak luput dari berbagai stresor. Tak semua stresor jelek.  Supaya jiwa tahan banting, stresor dibutuhkan. Anak perlu mengalami 
seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan  krisis dalam hidup. Seperti vaksin, biasakan anak memikul aneka  stresor yang bikin jiwanya kebal seandainya kelak hidupnya susah. 

Tanpa dilatih hidup susah, anak yang terbiasa hidup berkecukupan tak  tahan banting. Lebih banyak orang sukses lahir bukan dari keluarga  kecukupan. Hidup prihatin membuat jiwa tegar bertahan melawan  kesusahan. Hidup susah membangun mimpi ingin lepas dari rasa kapok  menjadi orang susah. Demi mengubah mimpi jadi kenyataan, spirit kerja  keras pun dipecut. 

Einstein percaya, untuk sukses diperlukan lima persen otak,  selebihnya keringat (perspirasi) . Spirit kerja keras menjadi milik  orang yang tak pernah puas pada prestasi yang diraih. Seperti bangsa  Troya dulu, pembangunan Jepang dan Korea lebih pesat ketimbang bangsa  sepantar karena memiliki "virus" n-Ach (need-for-Achieveme nt) yang  tinggi. 

"Virus" n-Ach bisa ditularkan kepada anak lewat asuhan dan  pendidikan. Bacaan memuat nilai kehidupan, termasuk mendongeng,  pendidikan berdisiplin, dan keteladanan orang lebih tua. Itu modul- modul kehidupan agar anak tahu juga hidup susah. 
 
 

Jiwa getas  

Kebiasaan meloloh anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak  merasakan gagal, kecewa, rasa ditekan, rasa konflik, atau rasa  krisis. Tanpa tempaan stresor, jiwa getas. Jika jiwa getas, orang  rentan stres. Bila tak terlatih hidup berdamai dengan stres, hidup  berisiko gagal andai harus jatuh miskin. 

Tak ada sekolah yang mengajarkan menjadi orang miskin. Tak pula ada  kursus memampukan anak terbiasa hidup berdamai dengan stres. Yang  bisa kita lakukan adalah mengasuh dan mendidik anak tahan banting. 
Mandat itu harus ada di pundak setiap orangtua. 

Tidak semua anak kecukupan pernah mengalami stresor. Dalam pendidikan  modern, anak sengaja dihadapkan pada stresor buatan. Ada pelatihan  diam-diam, dalam suasana berkemah atau outbound diciptakan situasi 
krisis. Mobil sengaja dibuat mogok di tengah hutan pada malam hari,  atau kehabisan makanan selagi camping. 

Dihadang stresor buatan, anak dilatih bagaimana bereaksi,  beradaptasi, agar mampu lolos dari rasa panik, rasa takut, rasa tidak  enak berada dalam situasi darurat. Ini bagian dari upaya membuat  kebal jiwa anak. Bila jiwa tak tahan banting, sontekan stres kecil  mungkin diatasi dengan bunuh diri. Kini semakin banyak kasus bunuh 
diri hanya karena alasan enteng. Gara-gara ditinggal pacar, tidak  naik kelas, sebab jiwa tak terlatih memikulnya. Maka jiwa perlu  digembleng. 

Kerja keras 

Menggembleng berarti menunjukkan rasa arah hidup prihatin, selain  berdisiplin. Hidup berdisiplin berarti menjunjung tinggi kebenaran,  memikul tanggung jawab, kerja keras, serta mampu menunda kepuasan. 

Menunda kepuasan bentuk keunggulan sebuah bangsa. Bangsa unggul  memiliki "virus" n-Ach tinggi. Anak yang diasuh dan dididik dengan  nilai-nilai "virus" n-Ach, menyimpan bekal sukses. Itu kelihatan,  misalnya, dari cara makan. Anak dengan n-Ach tinggi menyisihkan yang  enak dimakan belakangan, yang tidak enak dimakan dulu. Tugas berat  dikerjakan dulu, yang enteng belakangan. Bersakit-sakit dulu  bersenang-senang kemudian menjadi kredo bangsa yang sukses. 

Agar tahu hidup susah, anak diajak memahami bahasa hidup bukan uang  semata. Tak semua semerbak kehidupan bisa dipetik dengan uang.  Kebahagiaan tertinggi hanya terpetik setelah orang mampu merasa 
bersyukur meski cuma menjadi orang biasa (mengutip Gede Prama). 

Sukses hidup sejati tak mungkin terpetik instan. Jiwa potong kompas,  ingin lekas kaya, tumbuh dari budaya instan. Bukan rasa arah yang  benar saja yang perlu ditanamkan saat membesarkan anak, tetapi harus 
benar pula menempuhnya di mata Tuhan. 

Anak disiapkan menjadi insan linuwih (terinternalisasi penuh  superegonya) dengan cara mengempiskan egonya sekecil mungkin.  Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan  menyuntikkan "vaksin" hidup prihatin. Perlu pula penyubur superego  agar kendati hidup susah masih merasa bahagia. 

Hanya bila bibit linuwih dipupuk sejak kecil, sekiranya hidup susah  tak tergoda memilih serong. Kendati tak banyak harta, uang, atau  kuasa, ke arah mana pun hidup memandang, merasa tetap "kaya". Mampu 
legawa, bersyukur, dan merasa berbahagia sudah pula meraih Oscar  kehidupan, kendati mungkin hanya menjadi orang biasa. 

Sumber: Sekolah Hidup Susah oleh Handrawan Nadesul, Dokter, Penulis
Buku, Pengasuh Rubrik Kesehatan
Labels:
0
COMMENTS
Mobilize your Site
View Site in Mobile | Classic
Share by: