Menyingkirkan Diskriminasi
Oleh : DIDIE SW
Kurikulumnya amat ketat dengan introduksi
berbagai bahasa asing, tak kalah hebat dari pendidikan Eropa, dengan tingkat
kegagalan yang tinggi bahkan untuk orang Belanda sendiri. Toh dengan mutu
setinggi itu, putra In- donesia seperti Agoes Salim mampu tampil sebagai lulusan
terbaik dari seluruh HBS yang ada; memberi bukti bahwa jika mendapat wahana
pembelajaran yang baik, manusia Indonesia bisa berprestasi.
Kenanglah juga kualitas dan kuantitas
penelitiannya. Eijkman, peraih Nobel Kedokteran (1929), melakukan penelitiannya
di Indonesia, malah pernah menjadi direktur Stovia dan memimpin Laboratorium
Anatomi Patologis dan Bakteriologi (berdiri 1886) di negeri ini. Hingga akhir
1930-an setidaknya telah berdiri 26 institut penelitian bereputasi tinggi.
Ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada 1930-an, banyak ilmuwan terbaik Eropa
dan Amerika Serikat hijrah ke Indonesia dan menemukan apa yang mereka sebut
sebagai the scientific paradise. Tidaklah mengherankan jika jurnal ilmu
pengetahuan yang terbit di Indonesia waktu itu sangat terkenal di seantero
dunia, terutama yang berkaitan dengan penelitian tanaman tropis. Bahkan, ketika
Jepang masuk, sebuah perpustakaan di New York sengaja didirikan untuk terus
mengoleksi karya-karya ilmiah dari Indonesia.
Ingat pula sejenak inisiatif pemerintah
mendorong minat tulis dan baca. Pendirian Balai Pusta- ka (BP) dengan proyek
penerje- mahannya pada 1917 memberi contoh hal itu. Apa pun agenda tersembunyi
di balik pendiriannya, keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan
bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu, BP juga berfungsi
sebagai medan permagangan bagi para pengarang bumiputra membuka jalan bagi
keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal Respublica
litteraria,Republik susastra dunia.
Tantangan rezim pendidikan dalam RI merdeka
adalah bagaimana menyingkirkan diskriminasi dan memperluas kesempatan belajar,
seraya tetap mempertahankan mutu pendidikan. Dalam kenyataannya keduanya tak
selalu berjalan seiring. Tekan- an pada kuantitas sering kali mengorbankan
kualitas.
Di balik kisah yang membanggakan itu terselip pertanyaan miris,
"Bagaimana negara ini bisa memuliakan talenta-talenta terbaik bangsa?" Tanpa
komitmen negara dalam menunaikan tugas konstitusinya melindungi segenap bangsa
dan mencerdaskan kehidupan bangsa, berapa kali pun kita menjuarai berbagai
olimpiade sains internasional tidak akan berdampak signifikan bagi kemajuan
bangsa.
Investasi mental
Itu sebabnya Bung Karno sangat menekankan
program Nation and Character Building. Dalam pandangannya, Indonesia adalah
bangsa besar, tapi sering kali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias
bermental kecil; masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering
mengidap perasaan rendah diri.
Kantong
kreativitas
Alhasil, seiring dengan pertumbuhan kaum
borjuis di perkotaan, tumbuh pula kantong- kantong kreativitas ilmu dan budaya.
Kelas tinggi jadi penyangga dari budaya tinggi. Tak mengherankan jika kualitas
peradaban kita jadi ukuran kemajuan, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.
Bandingkanlah dengan Malaysia. Hingga awal abad ke-20, kota-kota pantai di
negeri ini lebih banyak dihuni orang Eropa, Tionghoa, dan pendatang lain. Karena
infrastruktur pengetahuan terbaik didirikan di kota-kota, bangsa Melayu jauh
terbelakang dalam pendidikan. Kelak kehendak memajukan bangsa Melayu mendorong
pemerintahnya mendatangkan tenaga pengajar dari Indonesia yang lebih maju dan
lebih bisa diterima karena kedekatan budayanya.
Lima tahun pertama setelah Indonesia
mendapatkan kedaulatan penuh, perhatian pemerintah lebih tertuju pada pemulihan
berbagai kerusakan infrastruktur pascarevolusi di tengah sengitnya persaingan
ideologi partai politik yang menguras energi. Pada tahap ini perhatian rezim
pendidikan lebih tertuju pada penyusunan kebijakan dengan perhatian yang
memprioritaskan pendidikan dasar.
Proyek modernisasi Orde Baru memerlukan
dukungan bidang pendidikan. Maka, rezim ini aktif memajukan bidang pendidikan.
Sejak Repelita II (1974/1975-1978/1979) ke Repelita IV (1984/1985-1988/1989)
anggaran pendidikan di Indonesia terus-menerus naik. Meski demikian, rata-rata
persentase anggaran pendidikan itu dari GNP selama periode itu (2,5 persen)
selalu lebih rendah dibandingkan dengan figur yang sama di negara tetangga
seperti Malaysia (4,2 persen) dan Singapura (3,0 persen). Itu membuat pendidikan
di negeri ini makin terasa tertinggal, bahkan dari perkembangan pendidikan di
negeri jiran yang sebelumnya jauh lebih terbelakang dari Indonesia.
Orde Reformasi bangkit dengan janji perhatian
yang lebih besar memajukan dunia pendidikan. Lewat amandemen Konstitusi, Pasal
31 UUD 1945 yang semula terdiri atas dua ayat diberikan perubahan dan tambahan
menjadi lima ayat, yang menunjukkan kemauan dan komitmen politik mendukung
kemajuan pendidikan. Kuatnya kemauan dan komitmen politik ini antara lain
tecermin dari mandat konstitusi yang mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan
dasar yang wajib diikuti setiap warga negara (ayat 2), dan pencantuman secara
eksplisit mengenai anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen dari
APBN dan APBD (ayat 3).
Pada kenyataannya masih saja ada jarak lebar
antara teks tertulis yang diamanatkan konstitusi dan pelaksanaan di lapangan.
Selain perlu waktu, terbukti pula bahwa dukungan anggaran saja tak cukup. Tanpa
tanggung jawab dan kreativitas penyelenggara negara, besar anggaran bisa saja
memacu penyalahgunaan keuangan selain sekadar melahirkan berbagai program
asal-asalan, asal dapat menyerap anggaran.
Perkara tanggung jawab inilah yang diingatkan
Bung Hatta dengan menyarankan pentingnya mengajarkan rasa cinta akan kebenaran
dan keadilan: "Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita, jika kita
sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan
nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebe-
sar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri dengan rasa cinta akan
kebenaran dan keadilan yang abadi."
Isu penting lain dalam pendidikan berorientasi kemajuan adalah usaha
memuliakan talenta. Indonesia sebagai masyarakat multietnis diberkati multi-DNA,
yang mengandung potensi multi-inteligensia dan multitalenta. Tanda-tandanya bisa
dilihat dalam berbagai ajang kompetisi internasional dalam matematika, fisika,
dan robotik. Anak-anak Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara
terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok, bahkan berulang kali
mengalahkan mereka.
Alhasil, jalan talenta memajukan Indonesia
tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa komitmen negara dan masyarakat menumbuhkan
ekosistem kreativitas yang kondusif, entah berapa banyak talenta terbaik bangsa
yang terbuang sia-sia, menempuh jalan kreativitas destruktif, atau lebih
dimanfaatkan bangsa lain yang lebih beradab.
Pendidikan dan
kepribadian
Para pendiri bangsa menyadari benar arti
pentingnya pendidikan bagi kehormatan dan kemuliaan manusia dan bangsa. Pujangga
besar Melayu Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12-nya itu menekankan
tiga hal penting dalam kehidupan manusia: ilmu, akal, dan adab. "Jikalau
beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya,
yakni kehinaan juga diperolehnya," tulis Raja Ali Haji.
Krisis multidimensional yang mendera Indonesia
saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam.
Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai zaman
kalabendu yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, kehancuran tata nilai, dan
keteladanan. Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk
memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita
memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan where there is no vision,
the people perish. Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis
nasional ini berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa
bangsa. Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai
spiritual dan etis ke dalam wacana publik. Dengan kata lain, kita memerlukan
penguatan etika politik dan pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Krisis ini terjadi karena pembangunan Indonesia
dalam waktu yang panjang terlalu menekankan pembangunan material, dengan
mengabaikan pembangunan mental-karakter. Dengan pengabaian aspek mental-karakter
ini, perkembangan kehidupan bangsa menyimpang dari trayek impian revolusi
Indonesia.
Pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus
1956, Bung Karno menjelaskan tiga fase revolusi bangsa. Dua fase telah dilalui
secara berhasil, dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia
telah melewati taraf revolusi fisik (1945-1949) dan taraf sintas (1950-1955).
Lantas ia tandaskan, "Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf
menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human
skill, material investment, dan mental investment."
Dalam pandangannya, investasi keterampilan dan
material amat penting. Namun, yang paling penting adalah investasi mental.
Investasi keterampilan dan material tak bisa jadi dasar persatuan dan kemakmuran
bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa kekayaan mental, upaya pemupukan
keterampilan dan material hanya akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya,
"Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh
dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini
untuk dollar, untuk rubel." Ditambahkannya pula, "Mental kita harus mengangkat
diri kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran
mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting."
Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat
penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat
yang disebut abdikrat, meminjam istilah dari Verhaar dalam bukunya Identitas
Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan tak
berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri. Memasuki alam kemerdekaan, Bung
Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis. Rakyat harus berjiwa
merdeka, berani berkata "ini dadaku, mana dadamu"; berani mandiri dan menghargai
diri sendiri.
Hingga taraf tertentu, usaha Nation and
Character Building di masa Soekarno itu berhasil. Rakyat dari Sabang sampai
Merauke mulai merasa terikat dalam suatu negara bangsa, dan merasa bangga
sebagai bangsa Indonesia. Kepercayaan diri bangsa ini juga meningkat berkat
kepeloporan Indonesia dalam berbagai isu internasional. Rakyat berani menolak
bantuan yang merendahkan bangsa sendiri dengan seruan, "Go to hell with your
aid!"
Pemerintah Orde Baru bangkit dengan kebijakan
yang memprioritaskan investasi material. Kebijakan investasi manusia lebih
menekankan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan memprioritaskan
pemacuan pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai "sekolah inpres"
(instruksi presiden). Investasi mental memang diberikan tapi bersifat permukaan.
Penataran Pancasila digalakkan tapi miskin kreativitas; terlalu menekankan
dimensi kognitif (hafalan), kurang menyentuh aspek afektif dan dorongan
bertindak. Akibatnya, di balik gebyar fisik modernitas kehidupan bangsa, mental
bangsa tetap terbelakang.
Orde Reformasi hadir sebagai kulminasi dari
paradoks antara kemajuan material dan keterbelakangan mental, dengan segala
krisis yang menyertainya. Setelah 14 tahun Reformasi tak kunjung mendekati
janji-janji kesejahteraan, keadilan, kepastian hukum, serta pemerintahan yang
baik dan bersih, mestinya timbul fajar budi kesadaran baru. Bahwa perbudakan
mental merupakan pangkal terdalam yang membuat kekayaan bangsa ini terus
dipersembahkan bagi seluas-luasnya kemakmuran asing; dan bahwa mental yang
terkorupsi adalah akar tunjang dari merajalelanya praktik korupsi.
Untuk keluar dari krisis yang akut, kita harus
kembali memperhatikan pembangunan mental-karakter. Usaha ini pada gilirannya
harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan dalam sistem
pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun
informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan
karakter yang kuat.
Karakter yang mencerminkan kualitas kepribadian
dan merit sebagai pribadi dan kelompok. Yakni kepribadian yang terkait dengan
kapasitas moral seseorang/sekelompok orang, seperti ketepercayaan dan kejujuran;
serta kekhasan kualitas seseorang/sekelompok orang yang membedakan dirinya dari
orang lain, yang membuatnya berkemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan dan
kegawatan (aktualitas potensi diri).
[ Sumber : Harian Kompas edisi 18 Agustus 2015
]