Oleh:
Andi Achdian
Ibu saya
suka bercerita, melukis dan menembang. Itu dilakukannya saat menghabiskan waktu
luang ketika langit mulai berwarna jingga keemasan. Suatu sore saya duduk di
sampingnya. Lalu ia menuturkan sebuah kisah tentang tradisi lama nenek
moyangnya. Tugas kita di dunia adalah mengabdi pada negara, agama dan rakyat
jelata. Begitulah kira-kira terjemahan kasarnya. Ia menyampaikan dengan
pribahasa yang diiringi nada merdu dari tembang kesukaannya.
Saya kira setiap
keluarga Indonesia memiliki kisah-kisahnya sendiri tentang kebajikan sosial yang
patut dilakukan sebagai anggota masyarakat. Keluarga adalah tempat awal
kebajikan sosial itu diajarkan. Kemudian dilanjutkan di sekolah, madrasah,
ataupun ketika kumpul-kumpul keluarga. Sebuah buku yang ditulis Hildred Geertz
menyampaikan dengan indah kebiasaan kehidupan keluarga Jawa di rumah-rumah
mereka. Semua keluarga Indonesia memiliki kebajikan sosial yang mereka ajarkan
untuk setiap anak-anaknya dari buaian sampai remaja.
Lalu ada suatu masa ketika saya mulai memasuki
dunia perguruan tinggi dan berkenalan dengan produk negara bernama Eka Prasetya
Pancakarsa. Selama 100 jam, saya diajarkan tentang butir-butir Pancasila tentang
bagaimana caranya tidak bertindak semena-mena terhadap orang lain, saling
mencintai sesama manusia, berani membela kebenaran dan keadilan, dan beberapa
butir lainnya sebagai turunan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab.
"Terus terang, saat itu saya merasakan
seratus jam yang membosankan. Para pengajar dengan kikuk menyampaikan tentang
bagaimana kita harus “tidak bergaya hidup mewah” atau “menghormati hak-hak orang
lain” sementara pada saat yang sama negara yang mengajarkan nilai-nilai luhur
itu merampas tanah para petani untuk sekedar tempat bagi para petinggi atau
tamu-tamu berkantung tebal bermain bola kecil yang menggelinding di atas rumput
hijau seperti karpet."
Saya jadi ingat guru mengaji dengan sinar mata
yang lembut dan ibu yang pandai bercerita. Mereka menyampaikan dengan cara yang
sulit dilupakan. Saya pun bisa tidur lelap dibuatnya. Sampai sekarang saya
tetap ingat cerita ibu tentang Rama dan Rahwana, atau kisah tentang Prabu
Yudhistira yang berbudi luhur dan baik hati tak terkira. Di universitas, setiap
jam dari seratus jam itu hanya membuat saya melamun memikirkan makanan yang
enak-enak, dan berkenalan dengan para mahasiswi yang menarik hati.
***
Belum lama berlalu sebuah pertarungan politik
yang mirip kisah pertarungan putra-putra Pandudewanata dan Dastarata di padang
Kurukshetra. Tidak dapat disangkal, setiap ksatria berlaga, jutaan orang-orang
biasa menjadi tumbalnya. Entah sebagai angka di dalam kotak suara, atau yang
berteriak parau di lapangan sambil menghujat lawan-lawan lawan politik para
pemimpin mereka. Ada suasana yang tidak mengenakkan bagi banyak orang. Belum
termasuk kisah-kisah tak bertuan di media sosial yang mengipasi kompor yang siap
meledak. Apakah semua akan berujung pada pralaya ?
Namun, sesungguhnya ini adalah pertanyaan
berlebihan. Ketika tidak lagi membaca media sosial, dan menjalani kehidupan
bersama warga kampung di kaki Gunung Salak, segala keributan itu tidak lebih
sekedar satu episode menegangkan dalam kisah pewayangan yang memiliki akhir
rasional. Setiap keributan ada batas juga rupanya.
Apalagi bila dibandingkan dengan kisah
pertempuran Gettysburg tahun 1863 antara tentara Union dan Konfederasi yang
menewaskan ribuan jiwa ketika orang-orang Amerika saling berkelahi apakah mereka
akan tetap melanjutkan perbudakan atau menghapusnya. Begitu juga pengalaman
Inggris dengan kisah Thomas Cromwell dalam pergolakan dinasti Tudor di Inggris
yang berakhir dengan pemenggalan kepalanya. Setiap masyarakat memiliki drama
menyakitkan dalam sejarah mereka. Di dalam kitab suci umat Nasrani, Yahudi dan
Muslim, ada pula kisah Cain dan Abel, saudara kandung yang saling membunuh untuk
berebut apa yang mereka anggap terbaik bagi mereka.
"Orang-orang Indonesia masa kini harus
menyelesaikan babak dramanya sendiri. Ibarat bayi yang belajar berjalan atau
orang yang baru belajar bahasa baru, seringkali ia terseleo lidah atau berjalan
tertatih untuk kemudian bisa berdiri atau berlari. Dalam drama-drama seperti
ini, setiap masyarakat cenderung melihat kembali sejarah masa lalunya. Para
revolusioner Prancis pun berkaca ulang pada sejarah klasik Eropa dan bergaya
seperti senator Romawi dalam setiap pidatonya untuk kemudian menciptakan sendiri
masa depan bagi mereka dan anak cucunya"
Kecemasan berbaur histeria masa kini mungkin
membuat kita terpaksa menghidupkan mahluk dinosaurus sebagai azimat untuk
mengatasi kerunyaman yang mengoyak kehidupan bersama sebagai masyarakat. Ada
seruan yang seolah menghidupkan seratus jam yang tidak menghasilkan apa-apa itu
sebagai jalan keluar terbaik dari kerunyaman. Namun belum tentu itu langkah yang
bijak. Masih banyak pilihan dan beragam langkah yang jauh lebih baik yang
tersedia. Sudah tentu hal ini membutuhkan keheningan sejenak dan bersedia
mendengar apa yang dibicarakan orang-orang biasa di jalanan, atau membuka
kembali beragam kisah sejarah negeri ini.
***
Masalah kita saat ini bukan karena kita telah
kehilangan kebajikan sosial atau toleransi dalam kehidupan bersama. Persoalannya
adalah tingkah laku antisosial itu telah terlalu lama dibiarkan. Ketika negara
tidak menjalankan perannya, masyarakat terpaksa menciptakan hukum mereka sendiri
yang terus merusak iklim kehidupan bersama seperti yang pernah dibayangkan para
pendiri negara republik ini.
Sukarno, dan siapapun yang turut serta dalam
perumusan dasar negara, telah membayangkan persoalan ini. Tanpa perlu membuat
penduduknya berpikir seragam seperti yang terjadi dalam kelas seratus jam,
mereka menetapkan sebuah landasan bersama bagi negara republik. Sekali lagi,
landasan dasar negara untuk kehidupan bersama, bukan menciptakan manusia
Indonesia yang harus berperilaku dalam model ini dan itu. Dalam kaitan itulah
Sukarno merumuskan Pancasila. Dan dalam latar belakang keragaman itu pula para
pendiri negara republik saling berdebat panjang, tetapi dengan akhir yang indah:
kemampuan untuk bersepakat untuk kebajikan publik yang utama.
Jadi, dibanding mengulang kisah seratus jam,
lebih baik kita bersama melihat sejauh mana produk-produk hukum negara dan
perbuatan aparat negara telah berjalan sesuai dengan landasan dasar yang
diletakkan para pendiri negara republik ini. Kita bisa mengaudit beragam produk
hukum di daerah yang dibuat dalam aroma aji mumpung ketika satu kelompok
memegang kekuasaan. Dalam kaitan ini Pancasila memiliki artinya. Dalam waktu
yang sama, saya tetap bisa menjalani kehidupan sebagai warga biasa, menulis
sejarah, mengumpulkan buku-buku tua, dan turut melaksanakan tarawih bersama
tetangga sekampung.
Di setiap masyarakat dalam setiap zaman selalu
muncul demagog yang membawa imajinasi orang-orang biasa yang hidup dalam
kesusahan dalam mantra-mantra mereka. Mungkin saja seruan itu berhasil mengajak
banyak orang melupakan sejenak kesulitan hidup dan mencari kambing hitam masalah
di tempat lainnya. Bagaimanapun antusiasme massa seperti ini ada batasnya. Ada
banyak kisah dalam catatan sejarah yang menunjukkan keyakinan ini.
***
Dari sudut pandang pengalaman hidup yang
biasa-biasa saja, saya hendak mengusulkan bahwa ada baiknya kita melihat kembali
sistem pengajaran kewargaan (civic) yang berjalan saat ini. Apakah metode
pengajaran kita tidak lagi mampu melahirkan daya pikir dan daya cerna yang
membentuk benak para pendiri republik yang memikirkan pentingnya membuat sebuah
grondslag bagi masyarakat majemuk tempat mereka tinggal? Model pengajaran
seperti apa yang bisa melahirkan sosok-sosok besar tersebut?
Saya kira kita semua sudah terlalu lelah untuk
menjadi pengekor atau sekedar epigon yang malas berpikir. Ada bahan yang cukup
baik dan melimpah seperti ditunjukkan dari siswa sekolah menengah yang
menggemparkan publik Indonesia dengan bacaan dan tulisan-tulisannya, atau rekan
seusianya di Aceh yang menciptakan enerji listrik dari pohon kedondong yang
menerangi kampungnya yang gelap. Kita semua bertanggungjawab bagi masa depan
anak-anak itu untuk terus bisa menerangi Indonesia yang akan datang.
(*)
---
*Andi Achdian, Dosen
dan Sejarawan.
[ Sumber : https://galeribukujakarta.com/ ]